Jumat, 25 November 2011

Kisah Buruh Kota Batam Gaji Baru Naik Jika UMK Naik

NUSANTARA - KEP. RIAU
Jum'at, 25 November 2011 , 07:57:00
PERINGETEN Ginting, 36, berdiri sekitar sepuluh meter dari kerumunan massa, Rabu (23/11). Ia mendengarkan orasi sejumlah perwakilan serikat pekerja yang menuntut Upah Minimum Kota Batam 2012 sama dengan biaya kehidupan hidup layak. Sesekali tangannya terkepal, ketika rekan-rekannya yang berorasi meneriakkan kata-kata Hidup Buruh.

Ginting sudah 16 tahun bekerja sebagai operator di PT Giken. Statusnya karyawan tetap. "Tapi gaji saya selalu sama dengan UMK," katanya.

Tahun ini misalnya, gaji Ginting Rp1,18 juta per bulan. Besaran gaji itu, katanya, sudah termasuk untuk transportasi, kos, makan, dan lainnya. Ginting merinci, Rp 300 ribu untuk kos, Rp200 ribu untuk transportasi. Sisanya sekitar Rp700 ribu untuk biaya hidup selama satu bulan.

"Saya dapat lebih hanya kalau ada OT (over time)," tuturnya. Lembur, biasanya ia dapat kalau ia bekerja di hari Minggu. Dalam sebulan, kadang Ginting dapat lembur dua kali. Kadang selama tiga bulan tak ada lembur.

Tanggal-tanggal tua, ketika gajinya menipis, perempuan itu harus pintar-pintar mengatur uang di dompetnya. Jika di awal-awal menerima gaji ia bisa menikmati makan malam di warung, di tanggal-tanggal itu ia harus rela hanya menikmati mie instan. "Kalau makan enak terus, mana cukup gajiku," tukasnya.

Jangan pernah membayangkan Ginting jalan-jalan ke mal, atau sekadar nonton film di bioskop. Selama belasan tahun jadi buruh, ia tak pernah menginjakkan kakinya di gedung bioskop. "Saya nonton film di TV aja," tuturnya.

Meski serba kurang, Ginting mengaku tak punya pilihan lain. Jika hendak keluar atau pindah kerja ke tempat lain, ia takut tak bisa diterima. Sementara di perusahaannya, ia sudah menjadi karyawan tetap. "Dilema. Makanya UMK itu penting buat kami. Kalau UMK naik, gaji kami naik. Kalau UMK tak naik, gaji kami tak naik juga," ujarnya.

Di tengah unjuk rasa Rabu itu, sejumlah pekerja di galangan kapal mengeluhkan gaji mereka yang kecil. "Tapi jangan sebut namaku. Tak enak sama perusahaan," ujar Ali, sebut saja begitu, karyawan PT Natos.

Sejak dua tahun lalu, Ali bergaji Rp8 ribu per jam. Dalam sebulan, ia bekerja selama 160 jam atau mendapatkan gaji Rp1,28 juta per bulan. Pendapatannya naik hingga Rp2 juta lebih jika ia bekerja di hari Minggu, atau lembur di hari biasa.

"Gaji saya sudah lebih baik dibandingkan dulu. Di awal-awal kerja, gaji saya cuma Rp4 ribu per jam, lalu naik jadi Rp6 ribu per jam," tukasnya. Ali bekerja di galangan kapal sebagai tukang cat sejak tahun 2006.

Ali harus menghidupi istri dan satu anaknya. Sama dengan Ginting, Ali harus pintar mengatur keuangan keluarganya di tanggal-tanggal tua. "Untung di depan rumah kami ada warung yang bisa kami utangin. Tiap bulan kasbon di situ," ujarnya.

Demikian halnya yang diutarakan karyawan lainnya. Berdiri di bagian belakang ,Ruslan,26, sesekali berteriak memberikan semangat kepada teman-temannya. Dengan mengenakan wearpack berwarna kuning dan safety shoes dan pengikat kepala, ia sangat bersemangat mengikuti jalannya aksi demonstrasi di depan kantor Wali Kota Batam, Kamis (24/11).

Pria lajang yang bekerja di PT BMC atau Batamec Tanjung Uncang ini terlihat tegang dan tampak serius mendengar orasi dari koordinator aksi di depan para demonstran. "Ia, turunkan Wali Kota," katanya sesaat setelah mendengar orator mengajak para demonstran untuk menurunkan wali kota.

Ruslan, yang tinggal di perumahan Pendawa Batuaji ini mengaku ikut berdemonstrasi karena merasa gajinya yang selama ini diterimanya dari perusahaan tempatnya bekerja sangatlah tidak mencukupi dibandingkan dengan kerja kerasnya di galangan kapal tersebut."Gaji kami tidak seimbang dengan pekerjaan kami di galangan kapal sana. Saya ikut demonstrasi ini berharap gaji saya di tahun depan bisa bertambah," katanya.

Selama tiga tahun ia banting tulang di perusahaan Shipyard itu dengan gaji per bulannya yakni Rp1,18 juta. Ia merasa uang itu tidak cukup untuk kebutuhannya di Batam setiap bulannya. Pria berkulit hitam ini merinci pengeluaran dia setiap bulannya. Untuk bayar kamar kosnya Rp 300ribu, belanjanya setiap bulan Rp 700ribu sementara sisanya harus ia gunakan seirit mungkin untuk keperluan mendadak.

Bekerja di galangan kapal di Tanjung uncang menurutnya sangat berat tantangannya. Ia harus bangun pukul 05.00 WIB karena bus karyawan melintas dari depan perumahan Pendawa sekitar pukul 05.30WIB. Jika ia overtime, ia baru akan sampai di kosnya sekitar pukul 21.30. Kalau ada jam lembur atau overtime seperti ini ia hanya akan bisa mendapatkan gaji hingga Rp 2juta. "Kalau rutin lemburnya Senin sampai Sabtu gaji saya paling hanya dua juta," ujar pria yang bekerja sebagai fitter di perusahaan tersebut.

Meski sudah bekerja selama tiga tahun di galangan kapal, ia mengaku tidak pernah bisa menyisihkan uang untuk ditabung. Jangankan untuk ditabung, untuk beli pakaian baru pun pria asal Sumatera Barat ini harus berpikir dua kali. Ia harus mempertimbangkan dan memperhitungkan kemampuan uang yang ada di kantongnya.

"Bagaimana mau nabung bang, untuk makan dan beli pakaian saja kalau bisa sudah mantap. Paling kalau kami ada uang di saku kalau kami ada jam overtime,"katanya.

Di tengah teriakan para demonstran, Ruslan pun sempat bercerita tentang awal pertama kali ia bekerja sebagai buruh di Batam. Ia mengaku datang ke Batam empat tahun lalu dengan harapan bisa membantu orang tuanya yang ada di kampungnya. Sebelum bekerja di galangan kapal, ia sempat bekerja serabutan sebelum akhirnya ada temannya yang membawanya kerja di galangan kapal.

"Waktu saya dulu baru kerja di Batam, saya sempat berjanji akan membantu orang tua dan adek saya yang di kampung tetapi dengan gaji yang sekarang itu tidak akan mungkin terjadi. Yang penting saya tidak meminta-minta sama orang lain," terangnya. (med/cr15)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar